Menyoal Kepastian Terjaminnya Hak Wajib Pajak di tengah Perseteruan Antara BPK, Menkeu dan DJP

Akhir-akhir ini media massa banyak memberitakan perselisihan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Menteri Keuangan (Menkeu) dan Direktur Jenderal Pajak (DJP) terkait dengan masalah aksesibilitas data/informasi wajib pajak untuk keperluan audit penerimaan pajak yang dilakukan oleh BPK terhadap DJP. Perselisihan terjadi karena Ketua BPK tidak menghendaki adanya keharusan untuk memperoleh ijin dari Menteri Keuangan dalam mengakses data Wajib Pajak, dan tidak ada pembatasan akses data Wajib Pajak sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Ketua BPK berdalih bahwa sebagai lembaga negara, BPK harus bebas memeriksa keuangan negara termasuk penerimaan pajak yang diartikan juga memeriksa pemenuhan kewajiban pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Di sisi lain, Menkeu dan DJP bertahan dengan alasan tidak dapat melanggar ketentuan UU KUP berkaitan dengan kewajiban merahasiakan data dan informasi mengenai Wajib Pajak yang diperoleh dalam rangka tata administrasi perpajakan. Oleh karena itu, DJP tentu tidak akan mengijinkan kebebasan akses BPK karena dia menjadi melanggar ketentuan pasal 34 UU KUP.

BPK akhirnya mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas UU KUP kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memuluskan keinginan BPK dalam mengakses data Wajib Pajak. Uji materi dilakukan karena UU KUP, menurut BPK berlawanan dengan konstitusi (KOMPAS, 11 Januari 2008). Dengan pengajuan uji materi atas UU KUP ke MK oleh BPK, DJP kemudian menghentikan proses pembahasan Memorandum of Understanding (MoU) mengenai pemeriksaan penerimaan pajak oleh BPK termasuk pemeriksaan pajak. Sidang di MK terkait kasus ini, pertama kali digelar tanggal 5 Februari 2008 (Bisnis Indonesia, 6 Februari 2008).

Meskipun pasal yang digugat adalah pasal 34 UU KUP, perselisihan tersebut seolah terfokus kepada kewenangan BPK untuk ikut memeriksa pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak. Oleh karena Pasal 34 UU KUP berkaitan dengan kerahasiaan data Wajib Pajak, maka pembahasan tulisan ini lebih menitikberatkan kepada bagaimana kepastian terjaminnya hak wajib pajak tersebut di tengah perseteruan BPK dan Depkeu? Masalah ini menurut kami krusial untuk diangkat agar kepastian terjaminnya hak wajib pajak tidak menjadi “pelanduk yang mati di tengah-tengah perseteruan para gajah”.

Hak Kerahasiaan Wajib Pajak Yang Perlu Dilindungi

Ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP yang diajukan judicial review oleh pihak BPK, selengkapnya berbunyi sebagi berikut: “ Dikecualikan dari ketentuan [merahasiakan dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan] sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara ”.

Sementara memori penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa: “ Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas wajib pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas wajib pajak meliputi: (1) nama wajib pajak; (2) NPWP; (3) Alamat wajib pajak; (4) Alamat kegiatan wajib pajak; (5) merek usaha; dan/atau (6) kegiatan usaha wajib pajak. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi: (a) penerimaan pajak secara nasional; (b) penerimaan pajak per kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per kantor pelayanan pajak; (c) penerimaan pajak per jenis pajak; (d) penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; (e) jumlah wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak terdaftar; (f) register permohonan wajib pajak; (g) tunggakan pajak secara nasional; dan/atau (h) tunggakan pajak per kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor pelayanan pajak ”.

Terlihat dari pasal di atas bahwa pihak DJP berusaha untuk menjamin kerahasiaan data dan informasi yang diperolehnya dari wajib pajak dengan melarang setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, untuk mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain: SPT, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh wajib pajak, data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, dsb. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 ayat (1) UU KUP.

Sebelum membahas mengenai perlindungan kerahasiaan, kita perlu memahami alasan mengapa perlindungan kerahasiaan tersebut sangat penting dan bersifat mutlak. Untuk itu, kita harus berpikir dan mendudukkan diri sebagai pengusaha atau Wajib Pajak. Sebagai contoh, Anda mempunyai usaha pabrikan makanan ringan. Anda tentunya mempunyai informasi berupa metode produksi termasuk campuran bahan baku dan bahan pembantu. Anda tentu berkepentingan untuk merahasiakan data tersebut terutama dari tangan perusahaan kompetitor Anda. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Pemeriksa Pajak dapat dan acap kali melakukan pengujian penggunaan bahan baku dan pembantu untuk menemukan indikasi adanya produksi dan penjualan yang tidak dilaporkan. Kalau Anda tidak yakin bahwa kerahasiaan data dan informasi tersebut terjamin, maka tentu Anda tidak akan memberikan data tersebut. Anda akan mempertimbangkan risiko jatuhnya informasi ke tangan kompetitor dengan risiko dan konsekuensi pengenaan sanksi perpajakan akibat tidak diberikannya data dan informasi tersebut.

Oleh karena itu, perlindungan kerahasiaan informasi tidak hanya penting bagi Wajib pajak. Perlindungan tersebut juga dimaksudkan untuk kepentingan kelancaran pelaksanaan administrasi dan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Perlindungan Kerahasiaan Informasi Wajib Pajak di Negara Lain

Untuk menilai kecukupan ketentuan kerahasiaan data perpajakan (tax secrecy) di Indonesia dapat dilakukan lewat membandingkannya dengan ketentuan yang diterapkan di negara-negara lain. Berdasarkan tinjauan atas ketentuan perlindungan terhadap kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak di beberapa Negara seperti Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Selandia Baru dan Singapura, kerahasiaan data perpajakan ternyata merupakan ketentuan yang berlaku umum (universal). Pejabat institusi perpajakan maupun institusi atau pejabat terkait mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh data dan informasi berkaitan dengan wajib pajak. Bahkan seorang kepala negara sekalipun tidak boleh membuka informasi perpajakan individual wajib pajak.

Beberapa ketentuan perlindungan terhadap kerahasiaan tersebut secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama, seluruh surat pemberitahuan pajak (tax returns), data dan informasi yang diperoleh selama proses administrasi perpajakan termasuk pemeriksaan pajak bersifat rahasia dan harus dilindungi. Informasi tersebut meliputi tetapi tidak terbatas atas informasi sumber penghasilan, laba-rugi, pengeluaran, aspek operasional perusahaan, proses produksi dan proses bisnis, metode kerja, advance pricing agreement, dan dokumen korespondensi antara Wajib Pajak dan otoritas perpajakan.

Kedua, tanggung jawab dan kewajiban merahasiakan tidak hanya dibebankan kepada petugas dan Pejabat Pajak. Kewajiban tersebut, di beberapa jurisdiksi, bahkan juga tetap diterapkan kepada mereka yang telah pensiun atau berhenti sebagai petugas pajak, dan setiap pihak yang berhak dan berwenang melakukan akses ke data dan informasi wajib pajak.

Ketiga, adanya sanksi tindak pidana atas pelanggaran kerahasiaan bagi pejabat atau petugas pajak dan pihak terkait yang mempunyai akses. Ancaman sanksi pidana tersebut tidak hanya didasarkan atas adanya pengaduan dari Wajib Pajak atau pihak yang kerahasiaannya dilanggar. Tindak pidana tersebut bukanlah delik aduan. Ancaman sanksi pidana juga cukup berat misalnya penjara maksimal tiga tahun dan/atau denda maksimal sepuluh ribu ringgit seperti di Malaysia.

Keempat, tindakan yang digolongkan tindakan pidana tidak sekedar tindakan mengkomunikasikan atau menyebarluaskan data dan informasi. Adanya usaha untuk mengkomunikasikan sudah digolongkan tindakan pidana. Demikian juga, kelalaian membiarkan atau mengijinkan orang yang tidak berwenang untuk mempunyai akses ke data dan informasi Wajib Pajak juga merupakan tindakan pidana.

Kelima, adanya kontrol dan perkecualian kerahasiaan atau adanya otorisasi pembukaan kerahasiaan dalam hal-hal tertentu misalnya akses kepada penegak hukum dalam rangka pidana perpajakan. Ketentuan di Singapura bahkan melarang pemberian informasi ke pengadilan mana pun kecuali dalam rangka penuntutan tindak pidana berkaitan dengan pajak penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Ketentuan Perlindungan Kerahasiaan Wajib Pajak di Indonesia

Ketentuan tentang kerahasiaan data perpajakan di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak UU Pajak sebelum reformasi 1983, yaitu dalam Pasal 44 Ordonansi Pajak Perseroan (PPs) tahun 1925, Pasal 21 dan 22 Ordonansi Pajak Pendapatan (PPd) tahun 1944 dan Pasal 33 Ordonansi Pajak Penjualan (PPn) tahun 1951.

UU KUP pun mengatur ketentuan kewajiban mengenai kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak yang harus dilaksanakan oleh Pejabat Pajak atau tenaga ahli. Perbedaan prinsipiil UU KUP tahun 2007 dengan Undang-Undang sebelumnya sebenarnya tidak terletak di batang tubuh UU KUP tetapi di bagian penjelasan. Berdasar UU KUP lama pun, pejabat dan tenaga ahli yang dapat memberikan informasi, termasuk kepada BKP, ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Hal ini dapat dimaklumi untuk ketertiban administrasi dan alat kontrol untuk menjaga kerahasiaan.

Secara singkat ketentuan perlindungan kerahasiaan di Indonesia dapat kita uraikan sebagai berikut.

Pertama, terdapat kewajiban merahasiakan atas seluruh SPT, laporan keuangan dan lain-lain yang dilaporkan Wajib Pajak, data dan informasi yang diperoleh dalam rangka pemeriksaan, serta data dan informasi rahasia lainnya yang berkaitan dengan Wajib Pajak. Tidak ada keberatan penulis dalam hal ini karena tidak ada batasan data yang dirahasiakan.

Kedua, tanggung jawab dan kewajiban merahasiakan dibebankan kepada petugas dan pejabat pajak serta tenaga ahli yang membantu otoritas perpajakan termasuk akuntan dan pengacara. Akan tetapi sayang, ketentuan kewajiban merahasiakan di UU KUP tidak meliputi pensiunan petugas pajak dan mereka yang diberi hak dan berwenang melakukan akses ke data dan informasi wajib pajak.

Ketiga, terdapat ancaman sanksi pidana yaitu bagi pejabat yang lalai diancam hukuman maksimal satu tahun penjara dan denda dua puluh lima juta rupiah. Sedangkan bagi pejabat yang sengaja melakukannya, diancam hukuman pidana maksimal dua tahun penjara dan denda lima puluh juta rupiah. Disamping itu, pidana tersebut bersifat delik aduan sehingga diperlukan pengaduan dari pihak yang kerahasiaannya dilanggar.

Terlepas dari cukup tidaknya ancaman hukuman pidana tersebut, satu hal yang perlu dipertimbangkan adanya ketentuan delik aduan. Seharusnya tanpa ada laporan dari pihak yang kerahasiaannya dilanggar pun, aparat penegak hukum dapat dan berwenang melakukan pemeriksaan perkara dan penyidikan.

Keempat, tindakan yang digolongkan tindakan pidana dalam UU KUP adalah tindakan memberitahukan informasi Wajib Pajak. Menurut pendapat kami, seharusnya kewajiban merahasiakan termasuk kewajiban melindungi data dan informasi Wajib Pajak. Kelalaian yang menyebabkan orang lain dapat mengetahui informasi rahasia Wajib Pajak seharusnya juga digolongkan sebagai tindakan yang dapat diancam pidana.

Kelima, UU KUP telah sangat membatasi pihak yang dapat memberitahukan informasi rahasia yaitu pejabat atau tenaga ahli yang telah memperoleh ijin dari Menteri Keuangan. Ijin dari Menteri Keuangan pun mensyaratkan adanya kepentingan keuangan Negara yaitu pemeriksaan oleh instansi atau lembaga Negara yang berwenang memeriksa keuangan Negara. Berkaitan dengan pembukaan informasi di pengadilan pun, informasi yang dibuka pun dibatasi hanya atas informasi yang berkaitan langsung dengan perkara yang bersangkutan dan yang mengenai tersangka tersebut. Ijin itu pun hanya diberikan setelah diperoleh permintaan tertulis dari hakim ketua dalam sidang pengadilan.

Ketentuan dalam UU KUP yang baru saja berlaku disamping memiliki kelebihan, ternyata masih mengandung kelemahan dan perlu diperbaiki untuk menjamin kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah dan semua pihak terkait memperhatikan dan memikirkan terjaminnya kerahasiaan data dan informasi wajib pajak. Apapun hasil sidang judicial review yang digelar di MK, Pemerintah perlu menyusun ketentuan pelaksanaan perlindungan kerahasiaan data dan informasi pajak yang lebih ketat dan lebih menjamin kepastian hukum serta perlindungan data dan informasi Wajib Pajak. Sehingga tidak akan terulang lagi kasus penerbitan SKPKBT kepada wajib pajak akibat hasil audit atas kinerja DJP oleh Irjen, BPK, atau Instansi pengawas lainnya. Tidak ada lagi wajib pajak yang terkena imbas dari hasil pemeriksaan DJP oleh instansi pengawas manapun dengan alas an terdapat bukti baru (novum) atau data yang belum terungkap tanpa batasan yang jelas apa hakekat bukti baru dan data yang belum terungkap tadi. Tidak ada lagi keragu-raguan di kalangan DJP untuk memberikan judgement yang fair terhadap posisi perlakuan pajak (tax treatment position) yang diterapkan oleh wajib pajak sepanjang didukung dengan bukti-bukti dan alas an yang cukup, hanya karena takut pihak Instansi pengawas berseberangan pendapat.

Akhirnya, Penulis berharap agar hak wajib pajak untuk terjaga kerahasiaannya dapat terjamin di tengah perseteruan BPK dan Depkeu. Para pihak semestinya menyadari bahwa kondisi tersebut menuntut dibangunnya minimum trust dan independensi antar lembaga pemerintah.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait